
Pondok Pesantren Sebagai Model Pendidikan Berbasis Komunitas – Siswa Sekolah Dasar (SD) di Kota Surabaya, Jawa Timur menyapa gurunya saat memasuki Masa Promosi Lingkungan Sekolah (MPLS) pada Senin (17/7/2023). (Antara/Ho-Discominfo Surabaya)
Surabaya (Antara) – Pondok Pesantren (Ponpas) merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam.
Yang membedakan madrasah dengan pesantren adalah pola perumahan dan keberadaan qiyya di pesantren. Inilah peran utama KIA yang mampu memadukan banyak hal yang dianggap deskriptif modernitas dan institusi pesantren.
Jika madrasah adalah lembaga pendidikan formal (klasik) yang menitikberatkan pada agama Islam sekaligus mencakup bidang umum, maka pesantren adalah lembaga pendidikan berasrama yang khusus mengajarkan pelajaran agama.
Dalam perkembangannya pesantren di Indonesia saat ini mengalami perubahan dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pondok pesantren modern biasanya menggunakan label tersebut
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan zaman, termasuk teknologi informasi yang telah merambah ke pesantren. Perubahan yang terjadi antara lain pada bangunan atau fisik pondok pesantren yang lebih bagus dan mewah.
Di luar itu menyangkut teknis pengelolaan dan pengasuhan pesantren yang semula berasal dari pimpinan perorangan kiai, namun berubah menjadi bentuk kolektif yang muncul di yayasan.
Menjamurnya program akademik di pesantren dan dibukanya pesantren untuk menerima atau menangani ilmu-ilmu praktis non-agama seperti pesantren.
Karena itu, terjadi persaingan dan partisipasi masyarakat dalam pendanaan lembaga pendidikan Islam, sehingga banyak pesantren yang menawarkan biaya asrama. Keterlibatan finansial orang tua dalam pendidikan Islam ini didukung oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat kelas menengah Muslim perkotaan.
Bersamaan dengan itu, banyak sekolah negeri di perkotaan yang mengalami kekurangan siswa, seperti yang terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur pada tahun ajaran baru 2023/2024.
Wali Kota Surabaya Ari Kahyadi meninjau pelaksanaan masa promosi lingkungan sekolah (MPLS) tahun ajaran baru 2023/2024 di sejumlah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Surabaya. , baru-baru ini diketahui terjadi kekurangan siswa.
Setelah dilakukan pengecekan ke sekolah negeri dan swasta mengenai jumlah siswa yang mendaftar ke perguruan tinggi, ternyata jumlah pendaftarnya tidak sebanyak lulusan dari jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Tak hanya itu, banyak sekolah swasta di Surabaya yang mengalami penurunan jumlah siswa di tahun ajaran baru ini. Jika pada tahun ajaran sebelumnya jumlah siswa mencapai tiga kelas, kini hanya tinggal 2,5 kelas.
Orang pertama di DPRD Kota Surabaya ini menilai rendahnya jumlah santri di Surabaya karena banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di pesantren modern.
Banyak orang tua yang mempercayakan anaknya pada rumah musim panas yang modern karena ingin membentuk karakter anaknya. Hal ini dilakukan karena para orang tua yakin bahwa pesantren modern dengan sistem yang berlaku saat ini mampu melahirkan generasi yang berakhlak mulia.
Selain itu, para orang tua juga ingin anaknya tidak terpengaruh pergaulan negatif dengan menyekolahkannya di pesantren.
Tentu saja hal ini menjadi penilaian Wali Kota terhadap kualitas pendidikan di Surabaya selama ini. Untuk itu, sistem pendidikan di sekolah Surabaya harus beradaptasi dengan tren yang ada saat ini.
Walikota meminta lembaga pendidikan dasar dan menengah swasta di Surabaya untuk lebih meningkatkan kualitas sekolahnya, baik dari segi infrastruktur sekolah, kualitas tenaga pengajar, dan lain-lain.
Dengan pendidikan yang baik, diharapkan para orang tua dapat mempertimbangkan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri.
Ari Kahyadi, Wali Kota Surabaya, menekankan pentingnya pembentukan karakter bagi siswa sekolah di Surabaya. Pengembangan pribadi terjadi melalui penerapan model pembelajaran baru.
Guru dapat membentuk anak berkarakter. Menjadi pintar tidak ada gunanya, tetapi tidak memiliki karakter dan moral.
Untuk itu, Wali Kota ingin sekolah dasar menyisihkan waktu di akhir masa sekolah untuk mengisi kegiatan yang disukai siswa. Kegiatan tersebut akan disesuaikan dengan minat siswa, seperti menari, menggambar, drama, dan lain-lain.
DPRD Kota Surabaya ingin pendidikan karakter anak mengedepankan perilaku keagamaan. Pasalnya, pemerintah kota memiliki berbagai program pendidikan nonformal untuk memenuhi kebutuhan pengembangan agama, akademik, dan keterampilan anak.
Pendidikan nonformal seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an dan Sekolah Minggu diharapkan dapat memenuhi aspek keagamaan tersebut. Selain kegiatan tersebut, ada pula program Arek Suroboyo School (SAS) yang juga menanamkan tiga aspek yaitu agama, pedagogi, dan bakat.
Dinas Pendidikan Kota Surabaya (DISPENDIC) juga melaksanakan pendidikan karakter selama dua jam di sekolah dasar dan menengah di Surabaya. Guru diminta membentuk karakter siswa dengan memperbaiki metode pembelajaran.
Tak hanya itu, guru juga harus bisa memberikan contoh kepada siswanya agar bisa menghormati orang tua dan guru di sekolah. Begitu pula dengan guru yang diminta mengajari anak mencium tangan.
Kecerdasan seorang siswa juga harus diimbangi dengan karakter yang kuat. Sehingga sekolah perlu menawarkan kegiatan-kegiatan yang fokus pada pengembangan karakter siswa seperti kegiatan seni dan keagamaan.
Terakhir, penerapan kebijakan ini juga diyakini dapat mencegah kenakalan remaja. Meskipun seluruh anak di Surabaya telah memiliki identitas etnik yang kuat, namun tidak akan ada yang namanya kenakalan remaja, termasuk perkelahian antar pelajar yang disebabkan oleh minuman keras.
Agar hasilnya maksimal, pendidikan karakter hendaknya tidak hanya dilakukan oleh guru atau sekolah saja tetapi juga oleh orang tua. Semoga semua itu dapat membentuk kepribadian anak. Tak hanya itu, karakter seorang anak akan lebih cepat berkembang jika didorong oleh orang tua anak juga.
Dengan pola tersebut, pesantren perkotaan tidak hadir secara “head to head” dengan sekolah negeri, namun saling bersaing untuk menunjukkan kualitas santri secara keseluruhan, yakni. beasiswa, etika dan kreativitas.
Penting juga untuk menanamkan pancasila dan ideologi agama yang kuat pada anak untuk memperkuat pengembangan karakter. Penanaman nilai-nilai Pancasila dalam setiap kehidupan memerlukan kemampuan menginternalisasikan dan memaknai makna butir-butir Pancasila.
Ketika nilai-nilai Panksila diimplementasikan dalam kehidupan maka akan muncul semangat gotong royong, kerukunan, saling membantu dan saling mencintai.
Demikian pula amalan menghafal kitab suci hendaknya dilakukan dikalangan siswa dengan pemahaman akan makna dan maknanya, sehingga dapat segera dilaksanakan. Semoga para santri dapat mengaplikasikan apa yang tertulis dalam kitab suci dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya bersama ini semakin memudahkan upaya mewujudkan impian Presiden Joko Widodo menuju “Generasi Emas 2045”. Melalui modal budaya, pesantren dapat mengubah perilaku masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, termasuk pemanfaatan teknologi. Menyadari potensi besar tersebut, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat () Institut Teknologi Bandung (ITB) mencoba mendorong pemanfaatan teknologi di lingkungan pesantren.
Bersama Pemda Gerakan Pemuda Jawa Barat, -ITB menyelenggarakan diskusi dan workshop online pada 6-10. Juli 2020. Sebanyak 30 kiai muda dari sejumlah pesantren di Jawa Barat ikut serta dalam operasi tersebut. Acara ini mengusung tema “Mengembangkan strategi pemanfaatan teknologi untuk penguatan pesantren dan kemaslahatan masyarakat”. Kegiatan workshop ini merupakan bentuk kepedulian ITB dan PW GP Ansor Jawa Barat untuk meningkatkan aktivitas pesantren kedepannya khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Harapannya pesantren dapat berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menyelaraskan dengan ilmu agama.
Intelektual Nahdlatul Ulama yang merupakan dosen Ghent University, Belgia, Dr. Ayang Utriza menyarankan agar pemanfaatan teknologi di pesantren hendaknya dimulai dengan menciptakan kesadaran akan pentingnya teknologi. “Setelah fiqh dan panth dijelaskan, ilmu pengetahuan dan teknologi mulai dimasukkan,” jelasnya. Ketika budaya ilmu pengetahuan dan teknologi hidup di lingkungan batin, maka pesantren dapat menjadi mentor untuk memperkuat usaha-usaha di masyarakat sekitar. “Pada saat itu, buku-buku bacaan Iptek dapat ditambahkan untuk mendidik pelajar dan umat beragama,” imbuhnya sambil menjelaskan topik “Prospek Perkembangan Intelektual dan Teknologi NU.”
Padahal menurut pendiri STT Sipasung, Dr. Abdul Khobir, M.T. Kegiatan pengembangan masyarakat telah diwujudkan dan dirintis di lingkungan pesantren sejak tahun 1980an dengan lahirnya Persatuan Pondok Pesantren dan Bina Lingkungan (P3M) yang menunjukkan “Sinergi Nilai-Nilai Pesantren dan Ilmu Pengetahuan”. dan Teknologi”. Saat itu para kiai sudah mempunyai kesadaran untuk mengembangkan aktivitas masyarakat termasuk generasi muda kiai.
Terlebih lagi, pesantren diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan teknologi sebagai sarana untuk memantapkan hubungan sosial dan memperluas jaringan pesantren dalam peran mendorong pemberdayaan sosial. Sebagai sebuah subkultur, pesantren mempunyai modal budaya yang dapat digunakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. “Teknologi dapat bertindak sebagai perantara untuk menstabilkan hubungan sosial. “Teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperluas jaringan pesantren dalam misi penguatan masyarakat,” jelas Dr. Agus S. Ecomadyo saat membawakan topik “Teknologi Sebagai Mediator Pesantren, Agama Sebagai Modal Budaya, Untuk Pemberdayaan Masyarakat”.
Pembicara “Pondok Pesantren dan Pengembangan Masyarakat” Dr. Tubagus Furkon menilai perlu adanya perubahan kurikulum pondok pesantren di Sofhani. Siswa tidak hanya harus menguasai Kitab Kuning, tetapi juga harus mandiri, baik secara ekonomi maupun politik, serta lebih memanfaatkan teknologi. Dengan begitu, kata dia, mahasiswa dan masyarakat sekitar akan mendapat wawasan global. “Tidak mudah bagi pesantren, makanya jaringannya diperkuat,” ujarnya.
Keberhasilan konsep pertanian terpadu Masaro dan penerapan iptek di Pondok Pesantren Al Ittifaq serta fase praktikum konten terkait “Teknologi, Budaya Pondok Pesantren dan Pembangunan Pertanian Perdesaan”. Disampaikan oleh Dr. Joko Sarjadi. “Bagi pesantren yang berlatar belakang pertanian dan peternakan, mari bersama-sama kita bantu pendidikan pertanian. “Pondok pesantren harus menjadi teladan bagi warga sekitar,” kata sumber, Dr. Joko Sarjadi sembari mengajak peserta melakukan aksi.
Di hari terakhir, Ketua LPIK ITB, Ir. Sigit P. Santosa, M.S.M.E., Sc.D., I.P.U. dan Sekretaris LPIK ITB, Rofiq Iqbal, S.T., M.Eng., Ph.D. Peserta diajak untuk menemukan langkah-langkah inovasi yang dapat ditindaklanjuti, mengembangkan kanvas model bisnis dan banyak contoh inovasi termasuk proses ‘Sanita’ untuk sampah rumah tangga. Menurut Ketua LPIK, pengembangan pesantren berbasis inovasi memerlukan beberapa faktor penting. Pertama, penetapan program prioritas terbaik untuk inovasi, yakni sistem digital, pendidikan berbasis sistem ekonomi syariah dan pengembangan perusahaan pangan, energi dan air. “Elemen penting yang juga perlu dibangun.”