
Perkembangan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren – Pondok pesantren berhasil mempertahankan tradisi unik yang sangat berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Terdapat subkultur yang berkaitan dengan falsafah hidup, nilai-nilai, serta kewibawaan dan kewibawaan dalam pengelolaannya. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren juga memiliki lima unsur penting, yaitu masjid, kyai, gubuk, santri, dan pendidikan kitab kuning.
. Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai akar kuat di kalangan umat Islam Indonesia, pesantren pesantren berhasil menjaga dan mempertahankan vitalitasnya.
Dan memperkenalkan metode pengajaran yang berbeda. Dari segi sumber daya fisik dan pendidikan, pesantren dapat dibedakan menjadi lima jenis, tergantung ketersediaan sumber daya di masing-masing pesantren. Sedangkan menurut kurikulumnya, pesantren dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu pesantren tradisional.
Anwar, Abu. “Karakteristik Pendidikan dan Aspek Kelembagaan di Pondok Pesantren.” POTENSIA: Jurnal Pendidikan Islam. jilid. 2, tidak. 2, (2016): 165-81. https://doi.org/10.24014/potentia.v2i2.2536.
———. 1985. Tradisi Pondok Pesantren Islam: Kajian Pandangan Hidup Kyai dan Visi Masa Depan Indonesia. edisi ke-10. Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. “Kijaji Jawa: Perubahan Peran Broker Tradisional.” Studi Banding dalam Masyarakat dan Sejarah. jilid. 2, tidak. 2, (1960): 228–49. https://doi.org/DOI: 10.1017/S0010417500000670.
Ghazali, M. Bahri. 2001. Kajian Sekolah Wisata Islam Lingkungan: Kasus Sekolah Islam An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Jakarta: Panduan Sains.
Ghofur, Abdul, dan Syuhud. “Perubahan Permainan Edukasi di Pondok Pesantren: Rekontekstualisasi Pendidikan Islam di Era Kontemporer.” Nusantara: Jurnal Kajian Islam Indonesia. jilid. 3, tidak. 2, (2023): 207-22. http://www.nun.or.id/index.php/nusantara/article/view/37.
Hanif, Abdullah, dan Amin Haedari HM. 2006. Masa Depan Pesantren Islam: Tantangan Kontemporer dan Isu Global. edisi ke-2. Jakarta: IRD Pers.
Muryono, Sigit, Imam Aman’, Sulthon Mashhud, Moh. Khusnuridlo, dan Mastuki. 2004. Manajemen Sekolah Perumahan Islam. edisi ke-2. Jakarta: Diva Perpustakaan.
Nurul Qomariyah, dan Mohammad Darwis. “Peran Pesantren Salaf dalam Masyarakat Era 5.0.” Risalatuna: Jurnal Kajian Pesantren. Jil. 3, tidak. 2, (2023): 220–34. https://doi.org/10.54471/rjps.v3i2.2528.
Pejabat pemerintah, Alamsyah Ratu. 1978. Mendorong Kehidupan Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Kantor Hukum dan Humas Kementerian Agama Republik Indonesia.
Zahroh, Aminatuz. “Mengembangkan Kompetisi Syar’i: Transformasi Kepemimpinan Pesantren.” JIEMAN: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. jilid. 1, tidak. 1, (2019): 41-57. https://doi.org/10.35719/jieman.v1i1.7.
Akhmad Afnan Fajarudin, & Zainil Ghulam. (2023). Pembentukan dan Pengembangan Sistem Pendidikan Sekolah Perumahan Islam. Mabahithuna: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 1 (2), 120-142. Diperoleh dari https:///index.php/mabahithuna/article/view/2938
Mabahithuna: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Syarifuddin Wonorejo Lumajang | Jl. Pesantren Kiai Syarifuddin Kedungjajang, Lumajang 67358, Indonesia | Email: [dilindungi email] ; Telepon/Faks. (0334) 887071PONO | Menghasilkan manusia sempurna yang berakhlak mulia, berwawasan keilmuan dan berdaya saing menghadapi era globalisasi yang berlandaskan ilmu amaliyah, aksi ilmiah dan semboyan bahwa sekali hidup mempunyai tujuan | BANTUAN | 1. Masukkan keyakinan yang kuat. 2. Memiliki jiwa lemah lembut dan mampu mengendalikan diri. 3. Mempererat tali silaturahmi, wathoniah dan basyariah. 4. Berpikir luas, kreatif dan kreatif. 5. Memegang nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran | HARTA | 1. Hidup sekali, jalani hidup yang bermakna 2. Berdiri diatas segala golongan 3. Ilmu amaliyah dan amal ilmiyah | ISTILAH PANCA | 1. Pendidikan dan Pelatihan 2. Kaderisasi 3. Sarana 4. Pondok Keluarga Sejahtera | LIMA ROH | 1. Semangat kejujuran 2. Semangat kesederhanaan 3. Semangat kemandirian 4. Semangat ukhuwah diniyyah 5. Semangat kemerdekaan | PILAR BAWAH | 1. Kesetiaan 2. Kebersamaan 3. Kesetiaan (mujahadah) 4. Istiqomah 5. Sabar |
“Manajemen ketertiban mutlak diperlukan untuk menjaga harapan – Kemajuan tanpa manajemen akan gagal – Manajemen tanpa kemajuan, kegilaan tidak ada gunanya – Sekali hidup bermakna – Semakin besar keimananmu, maka keuntunganmu – Pondok berdiri di atas dan untuk semua kalangan – Jadilah Ulama yang rasional bukan ulama – Berdonasi tapi jangan minta tolong – Berani hidup tanpa takut mati, takut mati tidak hidup, takut hidup dan mati – Hanya orang penting yang tahu kepentingan – Hanya pejuang mengetahui arti perang – Berjuang memerlukan pengorbanan, harta, kekuasaan, gagasan, bahkan jika perlu hidup – Motto pendidikan : 1. mempunyai pikiran yang tinggi 2. mempunyai badan yang sehat 3. mempunyai pengetahuan yang luas 4. mempunyai pikiran yang merdeka – Panca Jiwa Pondok : 1. kejujuran 2 . kesederhanaan 3. percaya diri 4. ukhuwah islamiyah 5 . kebebasan – Lima Hukum Pondok : 1. pendidikan dan pendidikan 2. khizanatullah 3. pembentukan kader 5. kesejahteraan keluarga pondok – Bukankah anda memperlakukan kami dengan toilet kami, anda memperlakukannya seperti toilet, mengunjunginya hanya jika ada kebutuhan. – Anda orang penting, tapi jangan meminta rasa hormat, jika Anda meminta rasa hormat. kamu tidak akan mendapat satu sen pun – Jika kamu sampai pada suatu tempat dimana kamu sudah mempunyai otoritas, yang harus kamu lakukan adalah mempertahankan otoritas itu, jika kamu melakukan kesalahan, kekuatanmu akan berkurang, aku bahkan menghilang sama sekali – Jika kamu mau . banyak pekerjaan, tetapi jika Anda melakukannya, itu akan menjadi kecil, jika Anda membicarakannya, Anda tidak akan menyelesaikannya – Tindakan terbaik adalah yang bertahan lama, meskipun sedikit. “
Hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari bahasa pendidikan di Indonesia adalah pesantren. Ini adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya menginspirasi model dan sistem yang ada saat ini. Ia tidak lekang oleh waktu dalam segala perubahannya. Oleh karena itu, banyak ulama baik lokal maupun internasional yang memandang pesantren sebagai sumber belajar. Tidak lazim jika banyak diskon dan promosi ditulis tentang lembaga pembelajaran Islam kuno ini.
Salah satu faktor yang menarik minat para sarjana untuk mengkaji lembaga ini adalah karena “model”-nya. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang dipadukan dalam pesantren menjadi daya tarik tersendiri. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang tampak apa adanya, hubungan antara guru dan murid serta kondisi fisiknya. Di tengah suasana seperti ini, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara, dan kemanusiaan yang tidak bisa dianggap kecil atau diremehkan. Sejarah membuktikan besarnya kontribusi yang telah diberikan lembaga ini, baik pada masa prakolonial, kolonial, maupun pascakolonial, dan bahkan hingga saat ini, peran tersebut masih terasa.
Di tengah kegagalan beberapa sistem pendidikan saat ini, ada baiknya kita melihat kembali sistem pendidikan pesantren. Keterpaduan antara etika dan ilmu pengetahuan yang disebarkan oleh pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga – setidaknya – mereduksi apa yang sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan santri dan generasi muda kita: PERJUANGAN.
Secara historis, pesantren sudah dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Saat itu Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya sebagai pusat pembelajaran di Pulau Jawa. Santri dari Pulau Jawa datang untuk belajar agama. Di antara mahasiswa tersebut ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren di negeri ini. Sebab, mahasiswa setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban untuk menggunakan ilmunya dalam berbagai bidang. Maka didirikanlah pesantren berdasarkan apa yang mereka pelajari di Pesantren Kedelapan Ampel.
Kesederhanaan pesantren sangat terlihat jelas, baik dari segi struktur fisik, metode, materi pembelajaran dan materi pembelajaran lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu. Yang membedakan lembaga ini adalah rasa loyalitas yang dimilikinya terhadap santri dan Kyai. Hubungan mereka bukan sekedar murid dan guru, tapi seperti anak dan orang tua. Tak heran jika para santri betah berada di pesantren meski dengan segala kesederhanaannya. Loyalitas seperti ini terlihat dengan tidak memungut bayaran tertentu dari para pelajar, mereka bekerja sama menanam atau berdagang dan hasil buahnya digunakan untuk kebutuhan hidup dan dana fisik lembaga, seperti penerangan, bangku belajar, tinta, tikar, dll.
Mata pelajaran yang dipelajari adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, nahwu, tafsir, tauhid, hadis dan lain-lain. Mereka sering menggunakan referensi dari Buku Wisata atau yang dikenal dengan Kitab Kuning. Di antara kajian-kajian yang ada, materi nahwu dan fiqh mendapat porsi yang besar. Hal ini karena mereka menganggap bahwa ilmu nahwu merupakan ilmu yang paling utama. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning jika tidak mengetahui bahasanya. Sedangkan harta fiqh dianggap sebagai ilmu yang erat hubungannya dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak mengherankan jika sebagian ulama menyebut sistem pendidikan Islam di pesantren pada masa lalu “berorientasi fiqh” atau “berorientasi nahwu”.
Lamanya belajar tidak dapat dipastikan, yaitu sesuai keinginan santri atau keputusan Kyai jika dianggap santri sudah cukup menyelesaikan studi. Kyai kerap berpesan kepada santrinya untuk belajar di tempat lain atau mengaplikasikan ilmunya di bidangnya masing-masing. Santri yang rajin sering kali mendapat “ijazah” dari Kyai.
Lokasi pesantren contoh pertama tidak sama dengan saat ini. Lebih menyatu dengan masyarakat, tidak berakhir dengan pagar (rumit) dan para santri bertemu dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak dijumpai di pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura, dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pondok pesantren dengan metode dan standar di atas telah mengalami perubahan, meskipun beberapa alat, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun kondisi fisik bangunan dan durasi penelitian telah diperbaiki. Contoh bentuk terakhir ini terdapat di Delapan Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.
Jenis, gaya dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode; Zaman Ampel (salaf) menampilkan kesederhanaan secara penuh. Kedua, Masa Gontor yang mencerminkan modernitas dalam proses konstruksi, metode dan fisika. Masa ini tidak menampik keberadaan pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel lahir, terdapat sebuah pesantren yang didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Begitu pula dengan Gontor, pernah ada – yang sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren Gontor – Tawalib Islam, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada sejauh mana pengaruh kedua mazhab tersebut dalam sejarah pesantren di Indonesia.
Sifat modern Gontor tidak hanya terletak pada penyediaan peralatan yang sama dengan sistem sekolah atau universitas, tetapi juga dalam cara hidupnya. Hal ini tercermin dari pakaian siswa dan guru yang menggunakan celana panjang dan dasi. Berbeda dengan aliran sarung dan sorogan Ampel. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Kyai Salaf sangat menekankan antikolonialisme kepada setiap santri dan masyarakat, hingga dikeluarkannya fatwa tersebut.
Pondok pesantren ta mirul islam, pondok pesantren nurul islam, pondok pesantren modern islam assalaam kabupaten sukoharjo jawa tengah, manajemen pendidikan pondok pesantren, pondok pesantren modern islam assalaam, pondok pesantren al islam, pondok pesantren asrama pelajar islam, sistem pendidikan pondok pesantren, pendidikan pondok pesantren, pendidikan islam di pesantren, pendidikan di pondok pesantren, perkembangan lembaga pendidikan islam