Peran Pondok Pesantren Dalam Menanggulangi Radikalisasi – Santri Ponpes Al Mukmin Ngruki bersiap mengikuti acara Hari Republik ke-77 di Pondok Pesantren setempat, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (17/08/2022). Sebanyak 600 peserta dari kalangan mahasiswa dan alumni mengikuti upacara yang pertama kali dilaksanakan di Pasantren Al Mukmin Ngruki tersebut. ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.
Landasan umum agama di muka bumi adalah ajaran umum untuk berbuat baik kepada sesama, bahkan terhadap alam Bondowoso (ANTARA) – Radikalisme atau radikalisme, bahkan aksi terorisme, masih menjadi ancaman. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara di dunia.
Mereka yang menganut paham radikal hingga mengarah pada aksi terorisme menggunakan agama sebagai kendaraannya. Dengan jargon “membela agama”, praktik yang mereka tampilkan justru merugikan agama mereka sendiri. Sebenarnya mereka telah menghancurkan agama.
Padahal, landasan umum agama di muka bumi adalah sama-sama mengajarkan untuk berbuat baik kepada sesama, bahkan kepada alam. Semua itu terangkum dalam doktrin “kasihanilah seluruh alam” atau doktrin cinta kasih.
Mengapa orang yang keyakinannya kaku mengambil jalan pintas dengan membalikkan ajaran mulia agama yang utuh.
Mereka justru terjebak dalam pemahaman tafsir yang jauh berbeda dengan pesan dasar yang dikehendaki Allah melalui risalah di kitab suci dan melalui nabi. Mereka tidak peduli beda agama, mereka juga menyalahkan orang yang seagama. Dalam Islam, kelompok ini biasanya menolak umat Islam yang tidak sependapat. Mereka dikenal sebagai kelompok takfiri.
Sama halnya tidak mudah untuk menyadarkan orang-orang yang telah diindoktrinasi radikalisme untuk kembali ke jalan keagamaan yang penuh cinta kasih, proses mengindoktrinasi seseorang menjadi radikal juga tidak mudah.
Butuh proses panjang agar orang lain bisa terpengaruh dengan pemahaman kaku ini. Perlu pembahasan yang panjang agar doktrin teroris dapat diterima dan kemudian dianggap sebagai kebenaran mutlak. Oleh karena itu, penggerak kelompok garis keras ini biasanya menyasar masyarakat yang pemahaman agamanya dangkal.
Mereka yang merasa belum sepenuhnya memahami ilmu agama, merasa telah menemukan tempat untuk mempelajari ilmu tersebut dan mengamalkan amalan keagamaan secara utuh, meskipun dianggap sempurna.
Sementara itu, orang-orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang agama cenderung tidak mudah diajak bergabung dalam kelompok ini karena mereka sangat memahami bahwa agama mengajarkan cinta kasih. Mereka telah memahami pemahaman tentang Islam
, khususnya di bawah naungan Nahdlatul Ulama atau NU, untuk melindungi umat dari ideologi yang sangat menyimpang tersebut.
Jika melihat teroris di Indonesia yang ditangkap polisi, tidak ada satupun alumni pesantren yang paham.
. Salah satu pesantren yang diketahui melahirkan kelompok teroris ini, salah satunya di Jawa Tengah yang tokohnya pernah dipenjara karena kasus terorisme. Kabar baiknya, pada Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2022, para pengurus pesantren mulai bersikap lemah lembut dan rela mengadakan upacara yang sebelumnya dianggap menyimpang dari ajaran agama.
Berbeda dengan pesantren yang ajarannya dikaitkan dengan NU dan biasa menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan hari libur nasional.
Pondok pesantren yang ajarannya beraliran NU mempunyai akar dalam mendidik santrinya untuk bersikap toleran, bahkan sangat menghormati pemeluk agama lain. Mereka belajar dari para ulama zaman dahulu yang mendirikan pesantren dan para guru dari mereka yang mendirikan pesantren untuk menerima dan menghargai pemeluk agama lain.
Syaikhona K.H.Muhammad Kholil, penduduk asli Bangkalan, Madura, yang menjadi guru para ulama besar di Jawa dan Madura, dalam cerita di atas, semasa hidupnya selalu melayani pengunjung non-Muslim sekedar untuk berkonsultasi berbagai permasalahan kehidupan.
Penerusnya Syaikhona Kholil kemudian menduplikasi penerimaan non-Muslim tersebut hingga sekarang. Kita bisa melihat K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang sangat akrab dengan pemeluk agama lain. Bahkan saat menjadi presiden, Gus Dur merasa sangat protektif terhadap agama lain, termasuk mengizinkan perayaan hari-hari keagamaan, yang paling dirasakan oleh umat Konghucu menjelang Tahun Baru Imlek.
Salah satu pesantren utama di Jawa Timur, Pondok Pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, biasa menerima tamu non-Muslim untuk menjadi pembicara topik tertentu di hadapan para santri.
Apalagi ketika pesantren didirikan oleh K.H. Zaini Mun’im (almarhum) dan kini dirawat oleh putranya K.H. Zuhri Zaini Mun’im membuka kursus bahasa asing, seperti Inggris dan Mandarin. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh perwakilan dari luar negeri non-Muslim. Hal ini secara langsung mengajarkan siswa untuk tidak menutup diri dengan orang yang menganut agama selain Islam.
Atau “Bagiku agamaku dan untukmu agamamu”. Penggalan ayat 6 Surat Al Kafirun dalam Al-Qur’an ini mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi memaksakan penafsiran ajaran agama.
Yang artinya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan para pemimpin diantara kamu”. Ajaran ini juga sangat ampuh untuk mencegah seorang muslim untuk tidak menaati ketentuan yang dianut oleh umat beragama lain yang kebijakannya diterapkan oleh pemerintah MELAWI, KN – Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 H Pondok Pesantren Al Sighor. Desa Semadin Lengkong, Kecamatan. Kecamatan Nanga Pinoh. Melawi menggelar kegiatan orientasi santri Pondok Pesantren bertema Peningkatan Peran Generasi Muda Melalui Santri Dalam Mencegah Masuknya Radikalisme dan Intoleransi, pada Jumat (6/9/19) pukul. 08:00 WIB.
Dalam kegiatan tersebut Kapolres Melawi diwakili oleh Kapolsek Sumda Polres Melawi AKP Sofian yang menjadi salah satu pembicara. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Kementerian Kabupaten Melawi yang diwakili oleh Kepala Subbagian TU H. Qomarun dan Ustad Ali Murtadho.
Kapolres Melawi AKBP Ahmad Fadlin S.IK., M.Si melalui Kapolres Sumda Kapolres Melawi AKP Sofian menjelaskan nilai-nilai dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharrom 1441 H di Pondok Pasantren Al Shighor , yang diharapkan. diisi dengan kegiatan positif yaitu pembinaan generasi muda melalui pelajar dalam mencegah radikalisme dan intoleransi.
“Dalam ideologi radikalisme artinya sikap yang melampaui batas, sikap yang cenderung keras, suka menyalahkan dan memaksakan doktrin yang dianut orang lain dan kurang terbuka pada diri sendiri, sikap ini tegas. dilarang dalam ajaran Islam,” ujarnya.
“Sikap radikal dan intoleransi muncul dari pemahaman yang tidak ditelaah secara mendalam atau dari pengetahuan yang diperoleh dari media sosial tanpa didampingi ulama dan ustadz,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menghindari terobosan ideologi radikal, hendaknya para santri benar-benar belajar dengan baik dan mengikuti arahan para pengasuh di pesantren, tanpa harus memikirkan hal-hal yang tidak berguna yang dapat merugikan moral para santri.
Sementara itu, Kepala Subbag TU Kemenag Kabupaten Melawi H. Qomarun mengatakan, pihaknya meyakini para santri di sini berasal dari berbagai daerah, suku, dan budaya dan datang ke pesantren di sini dengan suatu tujuan. mendapatkan ilmu agama dan pendidikan umum. Diharapkan dengan bersekolah di Pondok Pesantren Al Sighor, para santri cerdas dalam bersosialisasi dengan masyarakat luar dan cerdas dalam menyikapi perkembangan di masa depan.
“Umat Islam harus menjadi orang yang bertakwa, orang yang bisa bersosialisasi dan menghargai orang lain. Rasul juga mengingatkan umatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang di luar batas/radikal yang bertentangan dengan ajaran Islam,” ujarnya.
Di tempat itu Ustadz Mukoyim yang merupakan Pimpinan Pondok Pesantren mengucapkan terima kasih atas kedatangan para tamu undangan, serta menyampaikan maksud dan tujuan Pondok Pesantren Al Sighor melaksanakan kegiatan ini agar para santri paham. bahaya. radikalisme dan intoleransi.
“Agar mahasiswa bisa sadar diri dan mampu melawan ideologi tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sangat penting karena mahasiswa adalah generasi muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa,” ujarnya.
Kegiatan memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 H di Pondok Pesantren Al Sighor diakhiri dengan tausiah dan doa oleh Ustad Ali Murtadho Pondok Pesantren mempunyai program pendidikan yang disiapkan oleh Pondok Pesantren dimana program ini berisikan formal. proses pendidikan yang berlangsung setiap hari di asrama. Maka dari sini dapat dipahami bahwa pesantren dilembagakan atau dikembangkan secara kelembagaan agar dampaknya lebih efektif. Pondok pesantren tidak hanya sekedar tempat belajar, namun juga merupakan proses kehidupan, pembentukan karakter dan pengembangan sumber daya. Secara umum ciri-ciri pesantren modern adalah mengutamakan pendidikan pada sistem sekolah formal dan menekankan pada bahasa Arab dan bahasa Inggris modern. Secara tidak langsung, pada hakikatnya pesantren mempunyai peran yang sangat besar dalam melakukan sosialisasi secara mendalam terhadap isu-isu terkait Islam itu sendiri, termasuk moderasi beragama.
Pondok pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan Islam yang cukup banyak peminatnya dan juga menjadi sumber pertumbuhan generasi bangsa. Perlu penguatan peran lembaga pendidikan berasrama sebagai benteng menghadapi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sejalan dengan apa yang dicanangkan Kementerian Pertanian untuk mencegah kekerasan dan radikalisme di pesantren, Kementerian Agama (Kementerian) meluncurkan konsep moderasi beragama sebagai pedoman pembelajaran di pesantren. Dalam UU Pesantren juga disebutkan bahwa pesantren mempunyai fungsi dakwah atau menyebarkan ajaran Islam. Pasal dan ayat dalam peraturan ini sebenarnya bukan aturan, melainkan penegasan terhadap model dakwah yang selama ini diterapkan oleh pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan pusat dakwah Islam moderat (tawassuth) yang menghormati tradisi masyarakat dan menumbuhkan semangat cinta tanah air Indonesia.
Dalam pengabdian masyarakat yang mengangkat tema “Peran Pesantren Dalam Internalisasi Nilai Moderasi Beragama di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung di Pondok Pesantren Zawiyah Kabupaten Garut. Ditegaskan, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memperkokoh dan memperkuat peran. Untuk menghindari radikalisme dan ekstremisme, pesantren harus menginternalisasikan moderasi beragama dalam kurikulum pesantren. Tujuannya untuk memediasi kedua kutub ekstrem tersebut, dengan menekankan pentingnya substansi internalisasi ajaran agama di satu sisi, dan kontekstualisasi teks agama di sisi lain. Dalam kegiatan ini, Dr. H. Bambang Syamsul Arifin, M.Si., Dr. Muhammad Erihdiana, M.Pd., dan Dr. Ikyan Badruzzaman, MA. sebagai nara sumber. Sementara Prof. dr. Supiana, M.Ag., CSEE.,