Menjadi Santri Di Era Globalisasi: Peluang Dan Tantangan – Saya Abdul Halim El-Hakim dari kabupaten Bandung. Saat ini saya sedang kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
20 Desember 2022 15:31 20 Desember 2022 15:31 Diperbarui: 20 Desember 2022 19:04 794 3 0
Mahasiswa Ma’had Tahfidz UIN Sunan Gunung Djati, Cileunyi, Bandung dalam rangka Hari Santri 22 Oktober 2022
Di era modernisasi dan globalisasi saat ini, peran santri tidak akan pernah hilang dalam kemajuan bangsa Indonesia, terutama perannya dalam meraih kemerdekaan. Ada kutipan dari Republika.co.id oleh Hasanul Rizqa dalam artikelnya yang berjudul ‘Menelusuri Asal Usul Santri dan Pesantren’. Ada pepatah yang mengatakan, “Sejarah telah membuktikan bahwa para santri adalah pemimpin dalam pembebasan negeri ini.”
Tentang Santri, Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mempelajari ilmu agama di lembaga khusus yang disebut pesantren. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua pengertian istilah santri. Yang pertama adalah orang yang mendalami Islam dan yang kedua adalah orang yang sungguh-sungguh beribadah; orang yang saleh
Pendapat lain menyebutkan bahwa santri diambil dari bahasa ‘Tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’. Ada pula yang mengartikan kata santri berasal dari kata India “shastri” yang berarti “orang yang mengetahui kitab suci”.
Selain itu pendapat lain menyebutkan bahwa istilah santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (Sansekerta atau Jawa), yang berarti orang yang selalu taat kepada guru. Sedangkan versi lain menyebutkan bahwa kata “santri” merupakan gabungan dari kata “santo” (orang baik) dan kata “tra” (suka menolong).
Kehidupan seorang santri tidak terlepas dari aktivitas mengaji, karena tujuan utama santri adalah memperdalam ilmu agama untuk bekal menghadapi masa depan. Selain mengaji, seorang santri juga harus menjadi penerang ketiga aspek tersebut, karena arti kata Santri mencakup dua kata latin yaitu “Matahari” dan “Tiga”. berarti matahari dan kata “Ba” memiliki tiga arti. Jika digabungkan, arti kedua kata ini adalah “Tiga Matahari”. Dari makna “Tiga Matahari”, siswa harus mampu menjadi seberkas cahaya seperti peran matahari yang selalu menyinari bumi.
Makna santri yang pertama adalah santri harus berperan membawa pencerahan bagi diri sendiri. Bagaimana caranya? Tujuan dari santri sendiri adalah mempelajari ilmu agama dalam Al-Quran secara mendalam. Hasil atau dampak dari mempelajari ilmu agama adalah peserta didik dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Tidak mungkin atau bahkan sama sekali tidak patut siswa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma agama. Oleh karena itu, standar bagi peserta didik adalah mampu berbuat baik, halal dan adil sesuai agama.
Makna santri yang kedua adalah seorang santri harus mempunyai kemampuan untuk menjadi pembawa pencerahan bagi keluarganya. Dari situ kita dapat memahami bahwa siswa adalah teladan bagi ayah, ibu, saudara laki-laki, dan kerabatnya. Suatu keluarga akan bangga jika salah satu anggota keluarga tersebut ahli dalam bidang agama.
Aspek makna santri yang ketiga adalah santri harus mampu menjadi sosok yang membawa perubahan masyarakat menuju kehidupan yang lebih cerah. Seorang santri yang bersekolah di pesantren tentu akan sangat diharapkan oleh masyarakat. Sosok santri mempunyai peranan yang sangat melekat dalam masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, khususnya pada masyarakat tempat ia tinggal. Contohnya jika ada yang meninggal maka siswalah yang pertama kali ikut karena siswalah yang paling mengetahui tata cara manipulasi tubuh. Dan masih banyak lagi peran santri dalam masyarakat termasuk dalam permasalahan yang berkaitan dengan agama.
Peran santri tidak terlepas dari peran kiyai. Memang benar santri tidak akan ada tanpa adanya kiyai. Sebab kiyai merupakan tokoh yang berperan penting dalam membentuk kepribadian seorang santri. Jadi, kiyai adalah santri yang sebelumnya membacakan Al-Quran kepada kiyai. Dari santri ke kiyai ke santri lagi. Barangkali itulah siklus terbentuknya citra santri dan kiyai.
Banyak lulusan pesantren yang sukses berkarir sebagai ulama, guru, pengusaha bahkan pemimpin negara, misalnya Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan yang juga merupakan mantan santri salah satu pesantren di Thailand. Ada pula Gus Nadir yang menjadi dosen di sekolah bergengsi di Australia. Ada juga guru kondang yang sedang trending seperti Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat. Ada pula pengusaha sekaligus menteri Erick Thohir yang saat ini menjabat sebagai Menteri BUMN di pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
Jika dicermati, tentu masih banyak lagi PNS, pengusaha, akademisi, diplomat, walikota, dan lain-lain, yang berlatar belakang santri. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh santri di era modernisasi dan globalisasi memang nyata. Masa depan cerah bagi siswa semakin terbuka. Di era modernisasi dan globalisasi, mahasiswa berhak bermimpi menjadi apa pun. Karena sifatnya yang unik dan menarik, banyak bidang pekerjaan yang membutuhkan karakter berlatar belakang mahasiswa. Santri mempunyai peluang yang besar dan tidak akan ada hambatan untuk menjadi apapun yang diinginkannya. Sepanjang itu tidak bertentangan dengan hak dan kewajibannya sebagai orang yang paham ilmu agama. Perayaan hari santri yang kami laksanakan ini dimaksudkan agar kami bisa menerjemahkan, mengaplikasikan dan mengaplikasikan semangat jihad santri dalam menyikapinya. menghadapi tantangan negara saat ini dan masa depan.
Pada kesempatan yang baik ini, saya berjanji kepada diri sendiri khususnya dan anda semua pada umumnya, untuk selalu memperkuat ketaqwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan ketakwaan yang sejati, yaitu selalu menepati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena berdasarkan ketaqwaan tersebut, segala sesuatu yang kita lakukan dan akan kita lakukan, sesuai dengan kehendak Allah, akan selalu dalam lindungan, bimbingan dan keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Semoga kehadiran kami di masjid ini untuk menunaikan salat Jumat senantiasa mendapat keridhaan Allah subhanahu wata’ala.
Hari ini tanggal 28 Oktober 2022 bertepatan dengan hari 2 Rabiul 1444 H yaitu seminggu yang lalu kita baru saja mengalami peringatan suatu peristiwa heroik yaitu hari santri nasional dan sehari yang lalu kita juga telah melewati satu bulan yang mana ada sebuah fakta sejarah tentang lahirnya junjungan kita, nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua peristiwa ini sama-sama merupakan peristiwa besar, yang satu mempengaruhi dan mendorong yang lain.
Kehadiran Rasulullah SAW yang diutus Allah SWT ke permukaan bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak, yakni untuk membebaskan segala perbuatan tercela berupa penindasan dan barbarisme pada masyarakat jahiliah yang ada saat itu. Demikian pula perjuangan santri adalah perjuangan untuk membebaskan segala penindasan yang akan dilakukan kembali oleh penjajah dan sekutunya.
Peristiwa perjuangan para santri menghadapi dan menghalau kembalinya penjajah Indonesia, mengingatkan kita pada perjuangan Nabi SAW pada perang Khoibar yang berhasil memukul mundur kaum Yahudi Bani Nadhir dan sekutunya. Belajarlah dari Rasulullah pada perang Khoibar.
Di Khoibar, sekitar 150 km dari Madinah, terdapat komunitas Yahudi Bani Nadhir yang terusir dari Medina. Mereka selalu menaruh dendam terhadap komunitas Muslim di Madinah.
Untuk menjaga keutuhan, kedamaian dan kebahagiaan masyarakat dan wilayah Madinah, Nabi dengan pasukannya yang berjumlah 10.000 orang berperang melawan kaum Yahudi, dengan 50.000 orang di Khoibar. Dalam perang itu berkali-kali pemimpin perang Yahudi diganti karena dibunuh oleh kaum Muslim. Pada akhirnya perang tersebut dimenangkan oleh kaum Muslimin. Kemenangan ini didorong oleh keyakinan kuat bahwa jihad melawan ketidakadilan akan dikabulkan kemenangan oleh Allah. Allah berfirman dalam ayat 45-46 Al-Qur’an surat al-Anfal:
Benar
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhadapan dengan (musuh), berdirilah teguh dan menyebut Allah (nama) sebanyak-banyaknya agar kamu mendapat rejeki. Kekuatanmu akan hilang dan bersabarlah.
Demikian pula perang Surabaya adalah perang melawan penjajah yang telah diusir dari Indonesia, dan mereka serta sekutunya akan kembali ke Indonesia sebagai wilayah jajahan. Jadi, apa yang dilakukan para kiyai dan santri melawan sekutu merupakan sebuah peperangan yang sangat sengit, karena ummat Islam termasuk para kiyai dan santri selain jumlahnya sangat terbatas juga mempunyai perlengkapan dan perbekalan tradisional yang sangat minim. Sedangkan Sekutu berukuran cukup besar dan dilengkapi peralatan canggih.
Namun dengan semangat jihad yang gigih melawan penjajah kafir, melawan kezaliman, dilatarbelakangi oleh keimanan yang kuat, ternyata para santri pesantren mampu melawan melawan kekuatan sekutu yang kuat dengan membunuh dua orang terbaiknya. Jenderal sekutu. pihak, khususnya Jenderal Malaby dan Jenderal Robert Loder Symonds. Pada akhirnya kemenangan ada di tangan bangsa Indonesia, dalam hal ini para kiyai dan santri serta suroboyo ares.
Keberanian menghadapi sekutu tersebut didorong oleh imbauan kuat dari KH. Hasyim Asy’ari yang menyampaikan fatwa bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (“hubbul wathan minal iman”), cinta tanah air adalah bagian dari iman. Oleh karena itu, dengan semangat keimanan yang memotivasi tersebut, sang guru menyemangati murid-muridnya, dengan perlengkapan bambu tajam, untuk tidak takut menghadapi pasukan sekutu dengan persenjataan yang lengkap dan modern. Maka keberanian itu membuahkan hasil, yaitu kemenangan di pihak siswa.
Oleh karena itu, Hari Santri yang kita rayakan kemarin merupakan hari yang memiliki makna sejarah yang sangat penting, khususnya dalam sejarah kelanjutan kemerdekaan Indonesia. Peringatan ini merupakan salah satu bentuk pengakuan atas perjuangan panjang para santri yang dimulai berabad-abad sebelum Indonesia dipopulerkan oleh gerakan Peringatan tahun 1920-an.